Nama: Saskia Amalia
Kelas: X CI 2
Situ Bagendit
Cerita
Rakyat Jawa Barat
Pada jaman dahulu kala
disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah
petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air,
maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun
meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit gelap
dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju
sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah
menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang
terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus
cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Dan bukan
dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit. Mereka
terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari
perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi
mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung
tinggi.
“Wah kapan ya nasib kita
berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti
ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan
kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus
sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka
berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit
sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit. “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
“Hahaha, sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit. “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
“Hahaha, sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.
Benar saja, beberapa
minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak
yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora
dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak, persediaan
beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke
Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding
saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli
keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami
pikul.” Begitulah gerutuan para penduduk desa atas
kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas,
dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia
melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm, kasihan para
penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya
hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.Dia berjalan mendekati seorang
penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi! Saya numpang tanya,”
kata si nenek. “Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi
tersebut. “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya
di desa ini?” tanya si nenek.
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?” “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek. “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih. “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. Oh iya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?” “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek. “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih. “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. Oh iya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada
banjir di musim kemarau.” “Aku tidak bercanda,” kata si
nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari
itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit
sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si
pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para
centeng.
“Hei pengemis tua! Cepat
pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak
centeng. “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang
bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek. “Apa peduliku!” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu?
Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak
bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai
Endiiiit!!!” teriak si nenek.
Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil. “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja! Hei, siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?!” bentak Nyai Endit. “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek. “Lah, ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil. “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja! Hei, siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?!” bentak Nyai Endit. “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek. “Lah, ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi
tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan
penuh kemarahan. “Hei Endit! Selama ini Tuhan memberimu rezeki berlimpah tapi
kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah
menghambur-hamburkan makanan.” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini
sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini
bersiaplah menerima hukumanmu.” “Hahaha, kau mau menghukumku?
Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja,
kau pasti mati!” kata Nyai Endit. “Tidak
perlu repot-repot mengusirku.” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau
bisa mencabut tongkatku dari tanah.” “Dasar
nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai
Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit
mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak
bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
“Sialan!” kata Nyai Endit.
“Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku
potong!” Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek,
namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Hahaha kalian tidak berhasil?” kata si nenek.
“Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali
hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari
bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.“Endit! Inilah
hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu.
Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian
si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik
melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan
hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk
sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya
danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa
kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya
itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air
bah.
-Selesai-
·
Amanat
Amanat yang bisa saya ambil dari cerita rakyat
tersebut adalah jangan menjadi orang yang kikir dan pelit terhadap sesama. Dan
semua perbuatan yang kita lakukan yang baik maupun yang buruk pasti ada balasannya
kelak dikemudian hari.
·
Hal menarik
Hal menarik dari cerita rakyat ini menurut saya
yaitu ketika tongkat yang ditancapkan di tanah dan tidak ada seorang pun yang
bisa melepaskan tongkat tersebut kecuali nenek-nenek, bahkan orang yang lebih
muda pun tidak bisa melepaskan tongkat itu, dan ketika tongkat itu dilepaskan
oleh si nenek tersebut keluarlah air yang sangat deras. Itulah hal yang paling
menarik dari cerita rakyat ini menurut saya.
·
Cerita rakyat yang serupa
Situ Bagendit
|
Asal Mula Kota Cianjur
|
Ada seorang janda yang sangat kaya raya.
|
Ada seorang lelaki yang sangat kaya raya.
|
Nenek tua yang meminta sedekah dan tidak diberi
sedekah oleh Nyai Endit.
|
Nenek tua yang memina sedekah dan tidak diberi sedekah
juga oleh Pak Kikir.
|
Nenek itu marah dan menancapkan tongkat ke
tanah.
|
Nenek itu marah dan menancapkan tongkat ke
tanah.
|
Ketika tongkat itu dilepaskan keluarlah air
yang sangat deras.
|
Ketika tongkat itu dilepaskan keluarlah air
yang sangat deras.
|
·
Pebandingan dengan kehidupan sehari-hari
Dari cerita rakyat ini
saya dapat kesamaan dari cerita rakyat ini dengan kehidupan sehari-hari saya.
Setiap perbuatan baik ataupun buruk yang saya lakukan itu pasti ada balasannya
kelak dikemudian hari dan saya pernah mengalaminya. Dari cerita rakyatr ini
saya bisa mengambil peajaran bahwa saya harus bisa lebih teliti lagi dalam
melakukan sesuatu.
0 opini:
Posting Komentar